Seperti
apakah kau sekarang. Lebih tinggikah? Lebih tampan kah? Lebih pintarkah?.
Kau,
kenapa sulit bagiku untuk mampu melihatmu setiap hari? Pertanyaan yang selalu
mencapai otakku setiap hari. Bukankah kita satu sekolah, bukankah kita juga
satu angkatan. Jarak, ya jarak kelas kita yang terlalu jauh untuk bisa
kudekatkan dengan mudah.
Terlalu
senang jika kau tiba-tiba muncul didepanku, terlalu sedih ketika seharian kau
tak muncul didepanku walau hanya punggungmu semata. Kapan kau akan mengerti
tentang rasaku selama ini?
Pertanyaan
diatas datang pada hari ketiga ujian akhir sekolahku.
Lama tak menyapa, lama tak melihat sehingga begitu banyak pertanyaan yang begitu saja melayang datang.
Lama tak menyapa, lama tak melihat sehingga begitu banyak pertanyaan yang begitu saja melayang datang.
Aku,
hmmm. Bukan, aku bukanlah seorang yang sedang menjalin tali denganmu. Bukanlah
seorang dengan status pacar, bukan seorang yang sedang mengagumi dirimu. Tapi
entahlah aku tak menemukan alasan kenapa aku begitu langsung melilitkan
senyuman seketika melihatmu walau hanya hitungan detik.
Kau seakan angin sejuk yang datang saat
kondisi gerah. Kau seakan hujan saat kondisi gersang. Kau seperti bintang saat
malamku gelap. Aku ingin katakan bahwa aku mungkin sedang jatuh cinta.
Pagi
yang cerah untuk memulai pertempuran terakhir dalam sejarah sekolah menengahku.
“Unnaaaa” itu dia sahabatku sejak kelas 1 SMA, periang wataknya, selalu bisa
diandalkan dalam kondisi mendesak, dia juga sering mengalah denganku namun dia
sama sekali tak pernah keberatan untuk melakukan hal itu. Dimataku dia adalah
sahabat yang perfect. Luis nama
pendeknya.
Dia
merangkulku dengan mudah, karena postur tubuhku yang lebih kecil dibanding
dengannya. Kami berjalan beriringan menuju ruang ujian. Riuh ramai suara siswa
yang asik dengan kegiatan masing-masing, bingung karena belum belajar, sibuk
memasukkan kertas kecil dalam saku, semua kebiasaan mau menghadapi ujian semua
ada disini. Mulai dari ekspresi datar hingga kebingungan.
18,
itu ruangannya. “Dah, belajar kan?” tanyaku pada teman super hebatku ini. Dia
mengganguk semangat. Ya, berati kita akan sama-sama bisa mengerjakan ujian hari
terakhir ini.
Datang,
kerjakan, lupakan. Sekian dan terimakasih. Cukup singkat dalam sebuah pertempuran
dengan menggunakan motto itu.
“Sini..sini”
Luis mengambil kacamataku yang nampaknya baik-baik saja.
“Hih,
ngapain sih. Itu baik-baik saja” dia tetap saja memegang kacamataku lalu
mengambil tisu dan sudah kutebak dia akan membesihkan alat bantu penglihatanku
itu. Dia yang tak memakai saja amat rajin ketika kacamataku terlihat kotor.
Nah, aku yang punya kok cuek-cuek aja ya. Ya sudahlah, dia memang orang yang
rajin. Maka dari itu terbuktikan kan bahwa dia dapat diandalkan dalam keadaan
apapun itu.
Sudah
terpasang dengan baik, dan tepat sekali. Orang pertama yang aku lihat jelas
setelah kaca itu bening adalah Oka. Berdiri tegap, senyum yang indah, terlihat
begitu berwibawa dimata minusku dan sedang
bersandinag dengan..eits. Siapa yang sedang diajak ngbrol ya?,
sepertinya aku kenal denganya. Kenapa senyum bahagiaku mendadak pudar? Aku
cemburu? Tidak mungkin, aku tak boleh melakukan itu. Tapi, hatiku terasa
dibelah pedang, sangat pilu.
“Una,
sudahlah. Oka kan juga punya kehidupan. Dia juga berhak punya kawan siapa saja”
Kata-kata Luis mendengung begitu saja ditelingaku. Aku sibuk dengan perasaanku
sekarang.
Hak.
Hak berteman dengan siapapun. Okelah itu terdengar bagus, lagipula aku juga
bagian dari kawannya. Hanya saja, aku telah menyimpan hati untuknya sejak 2
tahun lalu.
“Una,
mulailah konsen ke ujian kita. Kurang selangkah lagi kita lulus. Ujian sekolah
sudah kurang ujian nasional saja. Oke. Oh ya, hari ini aku nggk bisa nemenin
kamu lama-lama disekolah. Ada les masak ni ma mama. Gpp kan?”
“Apa??
Les masak? Sejak kapan kamu les masak? Dasar pelit nggk bilang-bilang. Tapi
baiklah demi kamu, pulanglah saja!” Nadaku seakan mengusir secara halus,
bibirnya nyengir begitu saja mendengar jawabanku. Dan, tiba-tiba “Plaaak”
tamparan mendarat dipipiku.
“Luuuiiiss,
dasar kebiasaan” aku meringis kesakitan. Dia seakan puas dengan petir yang
sengaja ia daratkan di bumi pertiwiku. Oh, pipi malangnya nasibmu.
“Daaaa..sampai
jumpa besok cantik” dia berlari begitu saja tanpa ada kata maaf yang terlontar.
Aku
berteriak kesal padanya yang kini sudah hilang dibawa angin. Hingga tak sadar,
Oka tengah memperhatikan tingkah gilaku. Begitu saja cepat waktu mempertemukan
mata ku denganya. Dia memberiku rangkaian senyum dan lambaian tangan. Sebentar,
lambaian tangan-dia tak pernah melakukan itu didepanku.
Aku
harus segera mengembalikan hati yang runtuh tadi, ahh..kemana serpihan hati
tadi. Kini, aku benar-benar salah tingkah. Maju salah melangkah ke kanan
salah-melangkah ke kiri salah begitu juga dengan mundur. Hatiku berdetak sangat
kencang. Apa ini? Perasaan ini? Aku sakit? Sakit jiwa?. Ah, Luis kembalilah.
Seribu kali aku berdoa Luis tak akan kembali. Oh, doa itu percuma.
Kenapa
dia semakin dekat, dan aku semakin menundukkan kepalaku. Kakiku bingung untuk
mengarah. Tanganku semakin terasa dingin, sesekali lemas. Kakiku mau copot
rasanya.
“Hai”
sapanya, terasa begitu lembut merasuk keadalam jiwaku. Oh, mana handphoneku mana, ku rekam ku rekam, bukti bahwa dia pernah
menyapaku. Oh Tuhan, aku tak membawa handphone. Maukah dia menungguku sampai
aku kembal membawa handphone. “Hello” dia lambaikan tangannya diatas
lamunan picikku.
“Oh,
Oka. Ada apa?” aku bersikap senormal mungkin berpura-pura membenahi kacamata
yang nampak baik-baik saja. “Ditinggal Luis ya? Hahaha. Hei, lagipula lihat
sekolah sudah sepi kayak gini, kenapa masih berdiri disini?” ya, tanpa kusadari
sekolah ini lama-lama seperti kuburan. Sepi.
“Disini
banyak hantunya, nggak baik cewek manis sendiri, kalau ada yang tepuk dari
belakang giman? Serem kan-” kenapa bulu kudukku berdiri. Dasar cewek penakut.
“Hih,
apaan sih” alas ujian mendarat dibahunya.
“Ahhh,
sakit sakit…” Oka memegangi bahu kanannya dan meringis kesakitan, aku berlagak
cuek dan meninggalkannya yang terus berteriak kesakitan. Naluri wanitaku
muncul, ku balikkan badan dan terlihat dia sudah duduk dengan memegangi
bahunya. Aku berlari mendekatinya dan dari pandanganya seakan tersirat dasar cewek menyebalkan. Harapanku kian pupus
untuk mendapatkan hatinya.
“Bagaimana
ini? Bagaimana ini? sesakit itukah rasanya?” ku mulai menyesali perbuatan yang
benar tak kusengaja. Ini pertemuan pertamaku setelah beberapa hari tak pernah
kulihat hidungnya. Bukannya melakukan kebaikan untuknya justru aku melukainya
sekarang. Dasar ceroboh.
“Apakah
ada yang luka?, hmm sebentar sebentar” ku keluarkan kotak P3K yang selalu sedia
kubawa kemanapun aku pergi. Kubuka kancing atas bajunya.
“Apa
yang kau lakukan?” dia memegang tanganku, hatiku semakin tak karuan dibuatnya.
“Aku..aku,
aku ingin melihat lukamu itu. Kau terlihat seperti kesakitan” kata-kataku mulai
berantakan.
“Kau,
terlihat lebih manis saat kau khawatir” dia tersenyum tipis, menambah kesan
wibawanya. Sebegitu khawatirkah aku hingga tak kurasa jarakku denganya begitu
dekat. Sampai kusadari, aku meloncat menjauhkan diri dari tubuhnya. Aku seperti
orang bodoh, begitu tak menyadari seberapa lamakah aku berada dekat dengannya.
Dia
berdiri, membenahi kancing bajunya dan mengulurkan tangannya padaku. Namun,
sesegera mungkin aku berdiri mengikutinya, kuabaikan pertolongan dari Oka.
“Maafkan
aku, tapi benarkah bahumu baik-baik
saja?” aku merasa malu sehingga membuatku menunduk tiap kali bicara. “Ya,
tenanglah”.
“A..aku..aku
pergi” secepat kilat kakiku melangkah menjauh darinya. Cepat, cepat sekali.
Nafasku terasa berat, beberapa kali aku tersandung. Namun, tak kuhiraukan.
Berjalan dan terus berjalan.
“Hei,
kenapa jalanmu begitu cepat sih?” dia
begitu saja berada disampingku. Nafasnya tak berarturan, membuatku sadar bahwa
aku tidak berjalan, tapi aku sedang berlari, hingga kakiku menurunkan kadar
kecepatannya. Kami berjalan beriringan. Oh,
bunuh saja aku hari ini, bunuh saja aku.
“Aku
hanya bercanda, jangan cemberut begitu dong!” lagi-lagi ku abaikan
perkataannya. Aku terlalu bingung dengan kondisi yang baru saja ku alami. Aku
tak pernah sedekat itu dengannya. Ada apa dengan hari ini, selalu kusimpan
rapat tentang kenyataan bahwa aku menyukainya, melihatnya dari jauh saja sudah
sangat ku syukuri, tapi kali ini kenapa bisa sedekat itu?. Tak pernah kulihat
bahwa ada jawaban yang serupa tentang segala perasaanku padanya, namun hari ini
ia mudah sekali mendekatiku, berbincang denganku, bercanda denganku. Banyak
pertanyaan yang berputar mengelilingi otakku. Sampai akhirnya dia menarik
lenganku, dan kini aku kembali berhadapan denganya. Tariakannya membuat nafasku
tak teratur lagi. Beberapa kali usaha melapaskan tanganya dari leganku tak
membuahkan hasil. Luis bantu aku.
“Maafkan
aku, Una. Maaf” suaranya begitu berat kudengar. “Untuk apa kau meminta maaf?,
semua baik-baik saja. Justru aku yang harus minta maaf. Melukai lenganmu”
“Lenganku
baik-baik saja” katanya lagi.
“Tapi, sepertinya kau kesakitan sebaiknya kau
bawa saja ke rumah sakit” suaraku bergetar, aku merasakannya. “Akan ku biayai
nanti” lagi “Tapi pasti ini akan cepat sembuh, aku yakin kok” kataku lagi.
“UNA,
diamlah. Sudah kukatakan aku baik-baik saja” dia tak pernah sedikit saja
membentakku sekalipun aku pernah salah padanya. Tubuhku semakin bergetar ditengah kedua tanganya yang mendekap rapat
kedua bahuku. Kami berdiri behadapan, ya berhadapan.
“Maafkan
aku, membuatmu seperti ini. Membuatmu menunggu selama ini, Maafkan aku” dia
mulai berkata lagi. Sedikit demi sedikit ia lepaskan tanganya dari bahuku,
membuatku lebih mampu bernafas lega.
“Kenapa
kau bisa bertahan selama itu, bukankah itu menyedihkan bila kau lakukan. Aku
benar-benar tak bisa tahan dengan ini. Kenapa?” kata-katanya begitu dingin.
“Apa
yang kau maksud?”
“Lama
sekali bukan, kau menunggu hari ini. Maafkan aku, Una. Aku hanya terlalu takut
bila aku salah” bukannya semakin faham aku semakin kebingungan dengan
pembicaraan ini, aku tak menemukan ide pokok dalam pembicaraan kami layaknya
soal ujian bahasa Indonesia nomor satu. “Apa?” tanyaku sekali lagi.
“Kau...
Una” Diam bergitu lama, membuatku beberapa kali menelan ludah.
“Aku
menyukaimu”. Dak, jantungku seakan berhenti, aku butuh dokter. Oh, panggilkan
ambulance. Lupakan.
“Kau
bercanda”
“Ya,
aku menyukaimu. Dan aku tak akan salah. Aku menyukaimu. Jaga dirimu baik-baik.
Istirahlah” suaranya dingin namun penuh makna dan dia pergi, aku masih diam
ditempat. Air mengalir dipipi ku. Senyum terlingkar jelas disudut bibirku.
Mimpi kah ini?. Jangan bunuh aku hari
ini, aku mohon Tuhan.
Malam
datang, begitu jelas masih segar diingatanku segala rentetan kejadian hari ini.
Indah. Itu yang mampu aku simpulkan.
Malam
itu, ku kirim satu pesan. Untuk pertama kalinya aku mengirimkan pesan untuknya.
Butuh waktu yang lama untukku menulis rangkaian kata.
Sempat ku berfikir, meski tak ku
ucapkan rasa ini. Bukankan akan tetap menjadi cinta.
Aku
menyukaimu.
Apa yang seharusnya aku lakukan
sekarang?
Aku
menyukaimu
Rasa itu, mengapa datang untukmu? Oka.
Aku
menyukaimu
Dan, aku selalu mepertahankannya dan
selalu menanyakannya.
Aku
selalu menyukaimu
Diri ini hanya seorang yang tak punya
keberanian mengutarakan. Meski aku seorang wanita.
Aku
tetap menyukaimu
Aku wanita yang tak sebanding bila
berada didekatmu
Aku
tetap menyukaimu
Bisakah kau berkata selain itu?
Aku
akan selalu menyukaimu.
Oka
Una
Lama, tak ada bunyi
tanda pesan masuk. Aku mulai merasa frustasi. Tiba-tiba dering telepon
berbunyi. Segara kuangkat.
Una.
Iya?,
aku
menjawab.
Terimakasih.
Untuk?,
tanda
tanya besar melingkar diotakku.
Terimkasih
sudah mau menungguku. Itu bukan waktu yang singkat. Kau menderita sampai
akhirnya aku menyatakan hal ini padamu.
Terimkasih
sudah mau menaruh diriku pada hatimu. Meski kuyakin kau merasakan hatimu selalu
terasa berada pada harapan kosong, aku akan membuatnya utuh kembali.
Terimakasih
sudah mau menungguku, Una. Aku menyukaimu.
Masih bisakah aku
menatapmu di esok hari?
Tetaplah disisiku, esok
kau akan selalu berada di sampingku.
Masihkah
aku hanya mampu melihatmu dari jauh?
Sejauh
apapun kau, tetaplah disisiku. Jangan berfikir lagi bahwa kau sendiri. Aku akan
selalu dibelakangmu. Selalu bertahanlah untukku, Una.
Bolehkah
aku bertanya?
Silahkan
Apa yang membuatmu
begitu kuat menunggu seorang sepertiku? Selau mendengar gossip tentangku dari A
hingga Z.
Orang
seperti apapun kamu, telah membuatku terlalu percaya bahwa cinta akan hadir
saat aku sudah mengarungi waktu yang sangat panjang. Diperjalanan itulah aku
menemukan bahwa cintaku ada untukmu, akan selalu ada dan aku selalu percaya
bahwa kau mendengarku meski selalu tak nampak seperti itu. Mendengar
pengakuanmu seakan mimpi itu telah nyata.
Manisnya. Mengertikah
kau, aku percaya bahwa kau akan selalu ada untukku. Kekuatanmu untuk bertahan
membuatku yakin padamu.
Hampir
tiap malam, terkadang selalu terbersit pikiran. Aku takut bahwa mimpi ini akan
memudar.
Jalan
yang kau lalui, kuyakin kau lelah. Bersandarlah padaku kapanpun kau mau.
Sudah
malam, berbaringlah tidur. Jangan menangis lagi. Esok ingin kulihat kau ada
bersama senyummu.
Iya, aku akan berangkat
tidur. Jaga dirimu baik-baik.
Ya, manis.
Perbicaraan
selasai. Malam bersama bintang menerangiku dengan segala ketulusannya. Cinta
itu datang ketika aku mulai ingin menutupnya. Seberapa lelahnya aku
menunggunya, aku selalu yakin waktu akan segera menjawabnya. Dan, hari ini
waktu sedah menepati janjinya. Indah pada waktunya, terimakasih. Dan, Luis kau
harus mendengar ceritaku besok. Selamat malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar