Laman

Senin, 10 Maret 2014

Terimakasih Waktu


Seperti apakah kau sekarang. Lebih tinggikah? Lebih tampan kah? Lebih pintarkah?.
Kau, kenapa sulit bagiku untuk mampu melihatmu setiap hari? Pertanyaan yang selalu mencapai otakku setiap hari. Bukankah kita satu sekolah, bukankah kita juga satu angkatan. Jarak, ya jarak kelas kita yang terlalu jauh untuk bisa kudekatkan dengan mudah.
Terlalu senang jika kau tiba-tiba muncul didepanku, terlalu sedih ketika seharian kau tak muncul didepanku walau hanya punggungmu semata. Kapan kau akan mengerti tentang rasaku selama ini?
Pertanyaan diatas datang pada hari ketiga ujian akhir sekolahku.
Lama tak menyapa, lama tak melihat sehingga begitu banyak pertanyaan yang begitu saja melayang datang.
Aku, hmmm. Bukan, aku bukanlah seorang yang sedang menjalin tali denganmu. Bukanlah seorang dengan status pacar, bukan seorang yang sedang mengagumi dirimu. Tapi entahlah aku tak menemukan alasan kenapa aku begitu langsung melilitkan senyuman seketika melihatmu walau hanya hitungan detik. 
Kau seakan angin sejuk yang datang saat kondisi gerah. Kau seakan hujan saat kondisi gersang. Kau seperti bintang saat malamku gelap. Aku ingin katakan bahwa aku mungkin sedang jatuh cinta.
Pagi yang cerah untuk memulai pertempuran terakhir dalam sejarah sekolah menengahku. “Unnaaaa” itu dia sahabatku sejak kelas 1 SMA, periang wataknya, selalu bisa diandalkan dalam kondisi mendesak, dia juga sering mengalah denganku namun dia sama sekali tak pernah keberatan untuk melakukan hal itu. Dimataku dia adalah sahabat yang perfect. Luis nama pendeknya.
Dia merangkulku dengan mudah, karena postur tubuhku yang lebih kecil dibanding dengannya. Kami berjalan beriringan menuju ruang ujian. Riuh ramai suara siswa yang asik dengan kegiatan masing-masing, bingung karena belum belajar, sibuk memasukkan kertas kecil dalam saku, semua kebiasaan mau menghadapi ujian semua ada disini. Mulai dari ekspresi datar hingga kebingungan.
18, itu ruangannya. “Dah, belajar kan?” tanyaku pada teman super hebatku ini. Dia mengganguk semangat. Ya, berati kita akan sama-sama bisa mengerjakan ujian hari terakhir ini.
Datang, kerjakan, lupakan. Sekian dan terimakasih. Cukup singkat dalam sebuah pertempuran dengan menggunakan motto itu.
“Sini..sini” Luis mengambil kacamataku yang nampaknya baik-baik saja.
“Hih, ngapain sih. Itu baik-baik saja” dia tetap saja memegang kacamataku lalu mengambil tisu dan sudah kutebak dia akan membesihkan alat bantu penglihatanku itu. Dia yang tak memakai saja amat rajin ketika kacamataku terlihat kotor. Nah, aku yang punya kok cuek-cuek aja ya. Ya sudahlah, dia memang orang yang rajin. Maka dari itu terbuktikan kan bahwa dia dapat diandalkan dalam keadaan apapun itu.
Sudah terpasang dengan baik, dan tepat sekali. Orang pertama yang aku lihat jelas setelah kaca itu bening adalah Oka. Berdiri tegap, senyum yang indah, terlihat begitu berwibawa dimata minusku dan sedang  bersandinag dengan..eits. Siapa yang sedang diajak ngbrol ya?, sepertinya aku kenal denganya. Kenapa senyum bahagiaku mendadak pudar? Aku cemburu? Tidak mungkin, aku tak boleh melakukan itu. Tapi, hatiku terasa dibelah pedang, sangat pilu.
“Una, sudahlah. Oka kan juga punya kehidupan. Dia juga berhak punya kawan siapa saja” Kata-kata Luis mendengung begitu saja ditelingaku. Aku sibuk dengan perasaanku sekarang.
Hak. Hak berteman dengan siapapun. Okelah itu terdengar bagus, lagipula aku juga bagian dari kawannya. Hanya saja, aku telah menyimpan hati untuknya sejak 2 tahun lalu.
“Una, mulailah konsen ke ujian kita. Kurang selangkah lagi kita lulus. Ujian sekolah sudah kurang ujian nasional saja. Oke. Oh ya, hari ini aku nggk bisa nemenin kamu lama-lama disekolah. Ada les masak ni ma mama. Gpp kan?”
“Apa?? Les masak? Sejak kapan kamu les masak? Dasar pelit nggk bilang-bilang. Tapi baiklah demi kamu, pulanglah saja!” Nadaku seakan mengusir secara halus, bibirnya nyengir begitu saja mendengar jawabanku. Dan, tiba-tiba “Plaaak” tamparan mendarat dipipiku.
“Luuuiiiss, dasar kebiasaan” aku meringis kesakitan. Dia seakan puas dengan petir yang sengaja ia daratkan di bumi pertiwiku. Oh, pipi malangnya nasibmu.
“Daaaa..sampai jumpa besok cantik” dia berlari begitu saja tanpa ada kata maaf yang terlontar.
Aku berteriak kesal padanya yang kini sudah hilang dibawa angin. Hingga tak sadar, Oka tengah memperhatikan tingkah gilaku. Begitu saja cepat waktu mempertemukan mata ku denganya. Dia memberiku rangkaian senyum dan lambaian tangan. Sebentar, lambaian tangan-dia tak pernah melakukan itu didepanku.
Aku harus segera mengembalikan hati yang runtuh tadi, ahh..kemana serpihan hati tadi. Kini, aku benar-benar salah tingkah. Maju salah melangkah ke kanan salah-melangkah ke kiri salah begitu juga dengan mundur. Hatiku berdetak sangat kencang. Apa ini? Perasaan ini? Aku sakit? Sakit jiwa?. Ah, Luis kembalilah. Seribu kali aku berdoa Luis tak akan kembali. Oh, doa itu percuma.
Kenapa dia semakin dekat, dan aku semakin menundukkan kepalaku. Kakiku bingung untuk mengarah. Tanganku semakin terasa dingin, sesekali lemas. Kakiku mau copot rasanya.
“Hai” sapanya, terasa begitu lembut merasuk keadalam jiwaku. Oh, mana handphoneku mana, ku rekam ku rekam, bukti bahwa dia pernah menyapaku. Oh Tuhan, aku tak membawa handphone. Maukah dia menungguku sampai aku kembal membawa handphone. “Hello” dia lambaikan tangannya diatas lamunan picikku.
“Oh, Oka. Ada apa?” aku bersikap senormal mungkin berpura-pura membenahi kacamata yang nampak baik-baik saja. “Ditinggal Luis ya? Hahaha. Hei, lagipula lihat sekolah sudah sepi kayak gini, kenapa masih berdiri disini?” ya, tanpa kusadari sekolah ini lama-lama seperti kuburan. Sepi.
“Disini banyak hantunya, nggak baik cewek manis sendiri, kalau ada yang tepuk dari belakang giman? Serem kan-” kenapa bulu kudukku berdiri. Dasar cewek penakut.
“Hih, apaan sih” alas ujian mendarat dibahunya.
“Ahhh, sakit sakit…” Oka memegangi bahu kanannya dan meringis kesakitan, aku berlagak cuek dan meninggalkannya yang terus berteriak kesakitan. Naluri wanitaku muncul, ku balikkan badan dan terlihat dia sudah duduk dengan memegangi bahunya. Aku berlari mendekatinya dan dari pandanganya seakan tersirat dasar cewek menyebalkan. Harapanku kian pupus untuk mendapatkan hatinya.
“Bagaimana ini? Bagaimana ini? sesakit itukah rasanya?” ku mulai menyesali perbuatan yang benar tak kusengaja. Ini pertemuan pertamaku setelah beberapa hari tak pernah kulihat hidungnya. Bukannya melakukan kebaikan untuknya justru aku melukainya sekarang. Dasar ceroboh.
“Apakah ada yang luka?, hmm sebentar sebentar” ku keluarkan kotak P3K yang selalu sedia kubawa kemanapun aku pergi. Kubuka kancing atas bajunya.
“Apa yang kau lakukan?” dia memegang tanganku, hatiku semakin tak karuan dibuatnya.
“Aku..aku, aku ingin melihat lukamu itu. Kau terlihat seperti kesakitan” kata-kataku mulai berantakan.
“Kau, terlihat lebih manis saat kau khawatir” dia tersenyum tipis, menambah kesan wibawanya. Sebegitu khawatirkah aku hingga tak kurasa jarakku denganya begitu dekat. Sampai kusadari, aku meloncat menjauhkan diri dari tubuhnya. Aku seperti orang bodoh, begitu tak menyadari seberapa lamakah aku berada dekat dengannya.
Dia berdiri, membenahi kancing bajunya dan mengulurkan tangannya padaku. Namun, sesegera mungkin aku berdiri mengikutinya, kuabaikan pertolongan dari Oka.
“Maafkan aku, tapi benarkah bahumu  baik-baik saja?” aku merasa malu sehingga membuatku menunduk tiap kali bicara. “Ya, tenanglah”.
“A..aku..aku pergi” secepat kilat kakiku melangkah menjauh darinya. Cepat, cepat sekali. Nafasku terasa berat, beberapa kali aku tersandung. Namun, tak kuhiraukan. Berjalan dan terus berjalan.
“Hei, kenapa jalanmu begitu cepat sih?”  dia begitu saja berada disampingku. Nafasnya tak berarturan, membuatku sadar bahwa aku tidak berjalan, tapi aku sedang berlari, hingga kakiku menurunkan kadar kecepatannya. Kami berjalan beriringan. Oh, bunuh saja aku hari ini, bunuh saja aku.
“Aku hanya bercanda, jangan cemberut begitu dong!” lagi-lagi ku abaikan perkataannya. Aku terlalu bingung dengan kondisi yang baru saja ku alami. Aku tak pernah sedekat itu dengannya. Ada apa dengan hari ini, selalu kusimpan rapat tentang kenyataan bahwa aku menyukainya, melihatnya dari jauh saja sudah sangat ku syukuri, tapi kali ini kenapa bisa sedekat itu?. Tak pernah kulihat bahwa ada jawaban yang serupa tentang segala perasaanku padanya, namun hari ini ia mudah sekali mendekatiku, berbincang denganku, bercanda denganku. Banyak pertanyaan yang berputar mengelilingi otakku. Sampai akhirnya dia menarik lenganku, dan kini aku kembali berhadapan denganya. Tariakannya membuat nafasku tak teratur lagi. Beberapa kali usaha melapaskan tanganya dari leganku tak membuahkan hasil. Luis bantu aku.
“Maafkan aku, Una. Maaf” suaranya begitu berat kudengar. “Untuk apa kau meminta maaf?, semua baik-baik saja. Justru aku yang harus minta maaf. Melukai lenganmu”
“Lenganku baik-baik saja” katanya lagi.
 “Tapi, sepertinya kau kesakitan sebaiknya kau bawa saja ke rumah sakit” suaraku bergetar, aku merasakannya. “Akan ku biayai nanti” lagi “Tapi pasti ini akan cepat sembuh, aku yakin kok” kataku lagi.
“UNA, diamlah. Sudah kukatakan aku baik-baik saja” dia tak pernah sedikit saja membentakku sekalipun aku pernah salah padanya. Tubuhku semakin bergetar  ditengah kedua tanganya yang mendekap rapat kedua bahuku. Kami berdiri behadapan, ya berhadapan.
“Maafkan aku, membuatmu seperti ini. Membuatmu menunggu selama ini, Maafkan aku” dia mulai berkata lagi. Sedikit demi sedikit ia lepaskan tanganya dari bahuku, membuatku lebih mampu bernafas lega.
“Kenapa kau bisa bertahan selama itu, bukankah itu menyedihkan bila kau lakukan. Aku benar-benar tak bisa tahan dengan ini. Kenapa?” kata-katanya begitu dingin.
“Apa yang kau maksud?”
“Lama sekali bukan, kau menunggu hari ini. Maafkan aku, Una. Aku hanya terlalu takut bila aku salah” bukannya semakin faham aku semakin kebingungan dengan pembicaraan ini, aku tak menemukan ide pokok dalam pembicaraan kami layaknya soal ujian bahasa Indonesia nomor satu. “Apa?” tanyaku sekali lagi.
“Kau... Una” Diam bergitu lama, membuatku beberapa kali menelan ludah.
“Aku menyukaimu”. Dak, jantungku seakan berhenti, aku butuh dokter. Oh, panggilkan ambulance. Lupakan.
“Kau bercanda”
“Ya, aku menyukaimu. Dan aku tak akan salah. Aku menyukaimu. Jaga dirimu baik-baik. Istirahlah” suaranya dingin namun penuh makna dan dia pergi, aku masih diam ditempat. Air mengalir dipipi ku. Senyum terlingkar jelas disudut bibirku. Mimpi kah ini?. Jangan bunuh aku hari ini, aku mohon Tuhan.
Malam datang, begitu jelas masih segar diingatanku segala rentetan kejadian hari ini. Indah. Itu yang mampu aku simpulkan.
Malam itu, ku kirim satu pesan. Untuk pertama kalinya aku mengirimkan pesan untuknya. Butuh waktu yang lama untukku menulis rangkaian kata.
Sempat ku berfikir, meski tak ku ucapkan rasa ini. Bukankan akan tetap menjadi cinta.
Aku menyukaimu.
Apa yang seharusnya aku lakukan sekarang?
Aku menyukaimu
Rasa itu, mengapa datang untukmu? Oka.
Aku menyukaimu
Dan, aku selalu mepertahankannya dan selalu menanyakannya.
Aku selalu menyukaimu
Diri ini hanya seorang yang tak punya keberanian mengutarakan. Meski aku seorang wanita.
Aku tetap menyukaimu
Aku wanita yang tak sebanding bila berada didekatmu
Aku tetap menyukaimu
Bisakah kau berkata selain itu?
Aku akan selalu menyukaimu.
Oka
Una
Lama, tak ada bunyi tanda pesan masuk. Aku mulai merasa frustasi. Tiba-tiba dering telepon berbunyi. Segara kuangkat.
Una.

Iya?, aku menjawab.
Terimakasih.
Untuk?, tanda tanya besar melingkar diotakku.
Terimkasih sudah mau menungguku. Itu bukan waktu yang singkat. Kau menderita sampai akhirnya aku menyatakan hal ini padamu.
Terimkasih sudah mau menaruh diriku pada hatimu. Meski kuyakin kau merasakan hatimu selalu terasa berada pada harapan kosong, aku akan membuatnya utuh kembali.
Terimakasih sudah mau menungguku, Una. Aku menyukaimu.
 Masih bisakah aku menatapmu di esok hari?
 Tetaplah disisiku, esok kau akan selalu berada di sampingku.
Masihkah aku hanya mampu melihatmu dari jauh?
Sejauh apapun kau, tetaplah disisiku. Jangan berfikir lagi bahwa kau sendiri. Aku akan selalu dibelakangmu. Selalu bertahanlah untukku, Una.
Bolehkah aku bertanya?
Silahkan
Apa yang membuatmu begitu kuat menunggu seorang sepertiku? Selau mendengar gossip tentangku dari A hingga Z.
Orang seperti apapun kamu, telah membuatku terlalu percaya bahwa cinta akan hadir saat aku sudah mengarungi waktu yang sangat panjang. Diperjalanan itulah aku menemukan bahwa cintaku ada untukmu, akan selalu ada dan aku selalu percaya bahwa kau mendengarku meski selalu tak nampak seperti itu. Mendengar pengakuanmu seakan mimpi itu telah nyata.
Manisnya. Mengertikah kau, aku percaya bahwa kau akan selalu ada untukku. Kekuatanmu untuk bertahan membuatku yakin padamu.
Hampir tiap malam, terkadang selalu terbersit pikiran. Aku takut bahwa mimpi ini akan memudar.
Jalan yang kau lalui, kuyakin kau lelah. Bersandarlah padaku kapanpun kau mau.
Sudah malam, berbaringlah tidur. Jangan menangis lagi. Esok ingin kulihat kau ada bersama senyummu.
Iya, aku akan berangkat tidur. Jaga dirimu baik-baik.
Ya, manis.
Perbicaraan selasai. Malam bersama bintang menerangiku dengan segala ketulusannya. Cinta itu datang ketika aku mulai ingin menutupnya. Seberapa lelahnya aku menunggunya, aku selalu yakin waktu akan segera menjawabnya. Dan, hari ini waktu sedah menepati janjinya. Indah pada waktunya, terimakasih. Dan, Luis kau harus mendengar ceritaku besok. Selamat malam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar