Laman

Rabu, 12 Maret 2014

Sebatas Sakit, Tak Pernah Benci



Rasanya sakit, sakit, sakit sekali. Aku memang wanita yang bisa dikatakan jauh dari apa itu “wanita”. Jika aku masih salah hari ini, itu karena aku masih belajar. Tapi bisakah kau lihat satu sisiku yang lain. Sisi dimana kau tahu aku ini sama halnya dengan seorang wanita yang lainnya. Kau, kuhargai. Bukan hanya karena kita sama-sama manusia, bukan hanya karena kita sama-sama sebaya. Karena aku selalu merasa kau lebih baik dari aku. Karena aku selalu merasa, bahwa nanti aku juga akan bersanding dengan seorang manusia yang sama sepertimu. Lelaki.
Apakah dimatamu wanita, hanya sebatas ini dan itu? Aku yakin tidak, aku yakin dan selalu percaya bahwa kau adalah seorang yang pintar. Kalaupun keadaanmu sekarang, pola hidupmu tak seperti pertama aku kenal, itu sama sekali bukan kesalahanmu. Dan, aku tak menyalahkanmu.
Kau teman yang membuka satu cakrawala lain dalam hidupku. Kau temanku, kau temanku. Aku mengerti bagaimana perasaanmu ketika cinta harus bertepuk sebelah tangan, aku tahu dan aku paham. Namun, ingin sekali aku teriak padamu, tolong dengarkan aku, tolong, aku mohon. Sekali saja. Dengarkan apa yang aku katakan. Aku mohon dengarkan apa yang kusarankan padamu. Yang kau cintai itu juga sahabatku. Aku hanya berusaha menengahi permasalahanmu ini. Aku tak butuh uang, aku tak butuh makanan ini itu, aku tak butuh emas perak ataupun pemata, yang aku butuhkan, tolong dengarkan aku, dengarkan aku. Apakah itu benar-benar sulit untuk kau lakukan?.
Pernah taukah kau, sulitnya juga berada dalam posisiku. Namun, aku tak pernah menganggapnya terlalu serius, aku megusahakan apa yang aku bisa sampaikan padamu, ketika kau butuh bantuanku. Aku tak pernah merasa bahwa kau sedang berusaha “memanfaatkan” keadaanku, aku tak pernah beranggapan sama dengan mereka-mereka itu. Selalu aku berfikir kalau semua yang aku anggap teman, ketika mereka butuh bantuan selama aku bisa membantu, akan selalu aku usahakan. Namun, untukmu, seakan segala usaha yang aku lakukan tak membuatmu cukup puas. Aku pun berlapang dada. Apapun yang aku coba sarankan, aku yakin yang selalu dipakai adalah hati masing-masing. Aku hanya berusaha kali saja hatimu tersentuh dengan apa yang aku katakan. Namun, sepertinya sama sekali tidak.
Dengarkan aku, aku mohon dengarkan aku. Kau tahu betapa lelahnya aku ketika harus melawan waktu, berkatalah “terimakasih”, itu akan membuat lelahku setidaknya berkurang. Tapi, tak kudapati itu. Oke, aku berpikir lagi. Aku harus menghargai sikap orang lain, mungkin hatimu lagi kacau, hingga tak terlintas untuk mengatakan kata itu. Aku bersikap baik-baik saja. Aku masih punya hati-aku yakin kau tahu itu. Hargai aku, aku mohon. Aku ingin teriakan itu padamu. Aku mohon dengarkan dan hargai aku.
Aku selalu menghiraukan segala perkataanmu yang membuat hatiku miris. Aku abaikan, aku abaikan. Aku selalu menaruh kepercayaan, bahwa kau seorang yang bisa mengerti apa itu “wanita”. Namun ketika malam itu, kau membuat segala kepercayaanku padamu luntur. Kau tahu, betapa hancurnya aku, betapa sakitnya hatiku, betapa malunya aku terhadap diriku sendiri. Sebagai seorang teman apakah kau pernah menanyakan hal itu padaku. “Apa kau baik-baik saja?” “Apa ucapanku menyakitkan?” “Apa kau marah?” “Apa kau sedang sedih?” “Apa keadaanmu benar-benar baik?” . Sama sekali tak pernah aku dengar itu. Yang kulihat kau hanya tertawa, bersenda gurau dengan teman-temanmu yang lain. Sementara aku, berdiam dalam segala kekecewaanku, tunduk dalam kepedihanku, menahan dengan segala kekesalanku. Hanya semata aku tak mampu melakukan hal itu semua pada seorang yang sudah aku yakini sebagai “teman”.
Hari setelah itu, aku tak bisa mengkondisikan diriku sebagaiman biasanya. Hal yang ingin aku lakukan hanya menangis. Menangis dan menangis. Meski tak nampak, pernahkah kau sedikit saja mau peduli bahwa didalam hati ini, aku benar-benar terisak-isak oleh tangisan. Aku benar-benar tak sanggup melihat mu, menyebut namamu saja membuat pundi-pundi rasa sakitku semakin naik. Aku sedikit demi sedikit menjauh, apa kau sadar? Semata-mata aku tak bisa membenci temanku sendiri. Daripada aku terus-terus membawa rasa sakit ini, aku lebih baik memilih untuk menjauh. Apa kau juga sadar itu? Apa kau mengerti itu?. Apa yang kau lakukan ketika aku butuh seorang yang juga bisa memberiku saran. Kemana? Dimana kau? Kau sudah lupa denganku? Apa sebenarnya aku dimatamu? Aku? Siapa aku dimatamu?.
Apa yang kau pikirkan tentang harga diri? Benar-benar menyedihkan kala seorang berada dalam posisi ini. Saat itu aku ingin teriak pada malam, seperti apa aku dimatanya selama ini?. Hari demi hari, selalu kutunggu 4 kata terlontar dari mulutmu. Namun tak pernah aku dengar. Sampai akhirnya, hatiku benar-benar mulai merelakan segalanya. Merelakan apa yang telah kau lontarkan kala itu. Aku memaafkanmu, lebih awal dari itu, aku memafkanmu ketika kau tak pernah mendengarku.
Sampai, kau mengutarkan 4 kata itu, aku hanya bertanya. Ada apa minta maaf? Kau menjawab tak tahu. Terlihat dari susunan pesan mu kala itu, banyak keraguan, banyak keegoisan yang masih tersimpan, masih banyak gengsi yang nampak. Namun, bagaimanapun alasanamu, aku menghargai. Terimakasih telah mau mengatakan itu. Aku bersyukur, entah itu kau tahu atau tidak.
Aku hanya manusia biasa, aku hanya wanita biasa. Rasa sakit itu pernah ada diperjalan pertemanan kita. Perih itu masih terasa dihatiku. Namun, sekali lagi aku tak pernah membencimu.
Jadilah orang yang lebih baik dimasa depan. Dan, ketika waktunya nanti kau akan menyadari apa yang aku rasakan. Aku tak pernah membencimu. Lakukan apa yang menurutmu baik, silahkan datang padaku jika kau membutuhkan aku, aku akan membantu sebisaku. Namun ketika kau datang lagi pastikan bahwa kau akan benar-benar bisa mendengarkanku.

1 komentar: