Rasanya sakit,
sakit, sakit sekali. Aku memang wanita yang bisa dikatakan jauh dari apa itu
“wanita”. Jika aku masih salah hari ini, itu karena aku masih belajar. Tapi
bisakah kau lihat satu sisiku yang lain. Sisi dimana kau tahu aku ini sama
halnya dengan seorang wanita yang lainnya. Kau, kuhargai. Bukan hanya karena
kita sama-sama manusia, bukan hanya karena kita sama-sama sebaya. Karena aku
selalu merasa kau lebih baik dari aku. Karena aku selalu merasa, bahwa nanti
aku juga akan bersanding dengan seorang manusia yang sama sepertimu. Lelaki.
Apakah dimatamu
wanita, hanya sebatas ini dan itu? Aku yakin tidak, aku yakin dan selalu
percaya bahwa kau adalah seorang yang pintar. Kalaupun keadaanmu sekarang, pola
hidupmu tak seperti pertama aku kenal, itu sama sekali bukan kesalahanmu. Dan,
aku tak menyalahkanmu.
Kau teman yang
membuka satu cakrawala lain dalam hidupku. Kau temanku, kau temanku. Aku
mengerti bagaimana perasaanmu ketika cinta harus bertepuk sebelah tangan, aku
tahu dan aku paham. Namun, ingin sekali aku teriak padamu, tolong dengarkan
aku, tolong, aku mohon. Sekali saja. Dengarkan apa yang aku katakan. Aku mohon
dengarkan apa yang kusarankan padamu. Yang kau cintai itu juga sahabatku. Aku
hanya berusaha menengahi permasalahanmu ini. Aku tak butuh uang, aku tak butuh
makanan ini itu, aku tak butuh emas perak ataupun pemata, yang aku butuhkan,
tolong dengarkan aku, dengarkan aku. Apakah itu benar-benar sulit untuk kau
lakukan?.
Pernah taukah
kau, sulitnya juga berada dalam posisiku. Namun, aku tak pernah menganggapnya
terlalu serius, aku megusahakan apa yang aku bisa sampaikan padamu, ketika kau
butuh bantuanku. Aku tak pernah merasa bahwa kau sedang berusaha “memanfaatkan”
keadaanku, aku tak pernah beranggapan sama dengan mereka-mereka itu. Selalu aku
berfikir kalau semua yang aku anggap teman, ketika mereka butuh bantuan selama
aku bisa membantu, akan selalu aku usahakan. Namun, untukmu, seakan segala
usaha yang aku lakukan tak membuatmu cukup puas. Aku pun berlapang dada. Apapun
yang aku coba sarankan, aku yakin yang selalu dipakai adalah hati
masing-masing. Aku hanya berusaha kali saja hatimu tersentuh dengan apa yang
aku katakan. Namun, sepertinya sama sekali tidak.
Dengarkan aku,
aku mohon dengarkan aku. Kau tahu betapa lelahnya aku ketika harus melawan
waktu, berkatalah “terimakasih”, itu akan membuat lelahku setidaknya berkurang.
Tapi, tak kudapati itu. Oke, aku berpikir lagi. Aku harus menghargai sikap
orang lain, mungkin hatimu lagi kacau, hingga tak terlintas untuk mengatakan
kata itu. Aku bersikap baik-baik saja. Aku masih punya hati-aku yakin kau tahu
itu. Hargai aku, aku mohon. Aku ingin teriakan itu padamu. Aku mohon dengarkan
dan hargai aku.
Aku selalu
menghiraukan segala perkataanmu yang membuat hatiku miris. Aku abaikan, aku
abaikan. Aku selalu menaruh kepercayaan, bahwa kau seorang yang bisa mengerti
apa itu “wanita”. Namun ketika malam itu, kau membuat segala kepercayaanku
padamu luntur. Kau tahu, betapa hancurnya aku, betapa sakitnya hatiku, betapa
malunya aku terhadap diriku sendiri. Sebagai seorang teman apakah kau pernah
menanyakan hal itu padaku. “Apa kau baik-baik saja?” “Apa ucapanku
menyakitkan?” “Apa kau marah?” “Apa kau sedang sedih?” “Apa keadaanmu
benar-benar baik?” . Sama sekali tak pernah aku dengar itu. Yang kulihat kau
hanya tertawa, bersenda gurau dengan teman-temanmu yang lain. Sementara aku,
berdiam dalam segala kekecewaanku, tunduk dalam kepedihanku, menahan dengan
segala kekesalanku. Hanya semata aku tak mampu melakukan hal itu semua pada
seorang yang sudah aku yakini sebagai “teman”.
Hari setelah
itu, aku tak bisa mengkondisikan diriku sebagaiman biasanya. Hal yang ingin aku
lakukan hanya menangis. Menangis dan menangis. Meski tak nampak, pernahkah kau
sedikit saja mau peduli bahwa didalam hati ini, aku benar-benar terisak-isak
oleh tangisan. Aku benar-benar tak sanggup melihat mu, menyebut namamu saja
membuat pundi-pundi rasa sakitku semakin naik. Aku sedikit demi sedikit
menjauh, apa kau sadar? Semata-mata aku tak bisa membenci temanku sendiri.
Daripada aku terus-terus membawa rasa sakit ini, aku lebih baik memilih untuk menjauh.
Apa kau juga sadar itu? Apa kau mengerti itu?. Apa yang kau lakukan ketika aku
butuh seorang yang juga bisa memberiku saran. Kemana? Dimana kau? Kau sudah
lupa denganku? Apa sebenarnya aku dimatamu? Aku? Siapa aku dimatamu?.
Apa yang kau
pikirkan tentang harga diri? Benar-benar menyedihkan kala seorang berada dalam
posisi ini. Saat itu aku ingin teriak pada malam, seperti apa aku dimatanya
selama ini?. Hari demi hari, selalu kutunggu 4 kata terlontar dari mulutmu.
Namun tak pernah aku dengar. Sampai akhirnya, hatiku benar-benar mulai
merelakan segalanya. Merelakan apa yang telah kau lontarkan kala itu. Aku
memaafkanmu, lebih awal dari itu, aku memafkanmu ketika kau tak pernah
mendengarku.
Sampai, kau
mengutarkan 4 kata itu, aku hanya bertanya. Ada apa minta maaf? Kau menjawab
tak tahu. Terlihat dari susunan pesan mu kala itu, banyak keraguan, banyak
keegoisan yang masih tersimpan, masih banyak gengsi yang nampak. Namun,
bagaimanapun alasanamu, aku menghargai. Terimakasih telah mau mengatakan itu.
Aku bersyukur, entah itu kau tahu atau tidak.
Aku hanya
manusia biasa, aku hanya wanita biasa. Rasa sakit itu pernah ada diperjalan
pertemanan kita. Perih itu masih terasa dihatiku. Namun, sekali lagi aku tak
pernah membencimu.
Jadilah orang
yang lebih baik dimasa depan. Dan, ketika waktunya nanti kau akan menyadari apa
yang aku rasakan. Aku tak pernah membencimu. Lakukan apa yang menurutmu baik,
silahkan datang padaku jika kau membutuhkan aku, aku akan membantu sebisaku.
Namun ketika kau datang lagi pastikan bahwa kau akan benar-benar bisa mendengarkanku.
cie ;D
BalasHapus