Laman

Kamis, 09 Januari 2014

Bangkit Tengah Malam




Awal tahun 2014, seorang akan membuat langkah besar dalam sepanjang hidupnya. Jatuh terjatuh dan terjatuh lagi membuatnya lelah dengan lingkaran nafasnya. Hidup serba salah, hidup dalam relung hitam yang tak pernah menemukan titik putih, berdiam dalam titik jenuh yang tak pernah kunjung usai menyapa, buta akan lalu lalang manusia yang tak kunjung henti, bisu terhadap kepenatan masalah yang tak kunjung reda.
 Cemooh, sindiran, hinaan seakan telah menjadi temannya sehari-hari bahkan setiap jam hingga tiap detik bahkan pada kesempatan ia melangkah. Bukannya empat sehat lima sempurna yang ia dapatkan dari lauk-pauk
sederhana, melainkan inilah gizi yang seakan terus dan terus menyehatkan otaknya. Mungkin suatu saat nanti ia akan menjadi super hero dengan hati baja yang mampu mengalahkan keperkasaan Supermen hingga seorang Hulk. Ia akan belajar dengan kata “bangkit”.
Helaian angin melukiskan betapa indah tergurai rambut itu. Mata bulat dengan lingkaran coklat ditenganya telah mewakili betapa lembut tindak tanduknya. Jari-jari lembutnya bersedia menelusuri sampul kusam yang telah banyak didiami beribu-ribu rayap bahkan jutaan itu tak menyurutkan keinginannya untuk membuka kunci ingatannya. Hingga tak terlupa, sudut-sudut bibir itu telah  membentuk simpul termanis yang pernah ada.
Bukalah halaman pertama. Merdeka atau Mati, disanalah terlulis dengan tinta hitam yang kini hampir memudar. Pilihan inilah yang tak membuatnya gencar menyurutkan niat untuk berdiam diri dalam dimensi kelabu yang bersedia menaunginya bertahun-tahun bersama sang Arjuna kedua.
Merdeka atau Mati. Inilah pilihan yang menuntut ia memilih salah satu. Merdeka, bangkit dari caruk maruk ketidakberaturan sistem hidupnya ataukah mati bersama caruk maruk ketidakberaturan tatanan jalannya. Malam yang manaungi tangisannya kini terbuyarkan.
“Sudahlah jangan menangis”. Puluhan kali sang Arjuna mengatakan hal ini, dan puluhan kali juga ia tak mampu menghentikan tangisan.
“Maafkan aku” suaranya terdengar serak karena tangis yang tak kunjung usai.
“Bukankah itu sudah berlalu lama, jangan kau buat berlarut-larut seperti ini, Radwa !” pinta sang Arjuna melihat iba kepada wanita 45 tahun yang tak henti-hentinya memandang keluar jendela.
Sadarkah kedua makhluk Tuhan ini telah menjelajahi setengah malam tanpa melakukan hal lain selain duduk bersebelahan. Kemana lagi angan akan dibawa jika selamanya hidup dibawa terkatung-katung dalam kenangan masa lalu yang tak kunjung berhenti memainkan perannya.
“Seandainya ia mau mendengarkan aku, seandainya ia tak menutup matanya dariku, seandainya ia tak membuat telinganya tuli dari perkataanku. Aku masih bisa duduk disini bersamanya. Bersebelahan seperti ini” semakin serak terdengar dari mulutnya.
Mukhtar, sang Arjuna semakin pilu tatkala mendengar rentetan kalimat itu keluar dari mulut istrinya. Sungguh dari hati ia tak mengamini Irsyad sang Arjuna yang lebih awal meminang Radwa kembali hadir diantara mereka. Kenangan saja sudah membuatnya terlalu sulit apalagi dengan adanya sosok nyata dari Irsyad yang 5 tahun lalu telah Radwa yakini sebagai seorang Arjuna yang akan menemaninya selamanya.
“Kau memilih merdeka, Radwa. Tak ada gunanya menangisi kenangan ini. Ingatkah engkau, aku disini. Disampingmu sekarang. Bukannya dengan-” kalimatnya dibiarkan mengantung begitu saja. Membuat Radwa berpaling kearahnya. Menyadari hal yang seharusnya disadari sejak awal, bahwa kini lelaki yang berada disampingnya bukan lagi seorang yang penuh dengan korupsi dan pembodohan tapi seseorang yang akan selamanya penuh dengan kesetiaaan, yang akan membuat tiap katanya terbungkus dengan untaian doa kepada wanita hebat itu.
“Ma..maafkan aku, tak seharusnya ku ucapakan semua ini” ia linglung bagaimana harus bersikap. 2 tahun mereka bersama tak pernah Mukhtar memetikkan api dalam naungan cintanya, entah cinta yang telah membutakan hatinya ataukah hanya rasa iba yang tak pernah kunjung berhenti. Mukhtar tak pernah tahu pasti. Yang ia rasakan hanyalah segudang rahmat yang Dia berikan pada keluarga kecilnya yang ia selalu syukuri bagaimanapun keadaannya. Bukannya tak ingin mendapatkan seorang pasangan yang ketika berdua cukup membicarakan tentang masa depan dan sekelumit tentang bersama, namun ia percaya semakin banyak rahmat kecil yang mampu dikumpulkan, semakin berarti hidup ini.
“Ya, kau benar aku memilih merdeka, ini sudah lebih dari 5 tahun ku lalui dengan tangisan. Tangisan yang tak pernah kunjung usai. Beribu kali aku katakan bahwa aku memilih merdeka, tapi beribu-ribu kali juga ku telan ludahku sendiri. Aku banyak membohongi diriku sendiri. Seakan usahaku selama ini tak berbuah hasil. Ketika ingat, menangis, ingat, menangis dan begitulah” kini suaranya tak seserak pertama kali ia berucap.
Senyuman teruntai di bibir Mukhtar, mendengar pengakuan itu kembali. “Tapi kau tak pernah gentar mendengar segala cemoohan, hinaan, fitnah yang tertuju langsung padamu. Kau justru bersimpuh dihadapan-Nya demi memberikan mereka doa yang berlaian dari rasa sakit yang kau derita, Radwa”.
“Kau percaya bahwa usahaku tak akan sia-sia?” Tanya Radwa penuh keraguan.
“Kenapa kau tanyakan itu padaku? Jawabanku sudahlah kau tahu. Aku percaya, Allah tak akan membiarkan usaha hamba-Nya berlalu begitu saja. Percayalah ! Radwa hanya perlu melangkah lebih jauh, sedikit demi sedikit dengan bumbu keberanian” Senyum mulai mengembang diantaranya, ditemani sayup-sayup angin tengah malam. Mereka bercengkrama. Mereka saling meyakinkan bahwa harapan itu selalu ada.
Tahukah kau, aku bersyukur memilikimu. Aku mengambil pelajaran dari akhlakmu. Api tak pernah kau balas dengan api. Dari apilah kau bisa jadi airnya. Ucap Mukhtar dari hati yang tak terungkap.
Di lain hati, aku jauh lebih bersyukur karena engkau Mukhtar, engkau Yang Terpilih untuk mendampingiku hingga detik ini. Kau menerima segala apa yang aku miliki dan yang tak aku miliki. Seberapa halusnya hatimu sebenarnya, lebih haluskah dari kain sutra. Meski cinta hadir menyapaku ditengah umur yang tak muda lagi, kau tidak membuatku hilang akan cinta-Nya. Terimakasih.

oleh : viviana fauziyyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar