Awal tahun 2014, seorang akan membuat langkah besar dalam sepanjang hidupnya. Jatuh terjatuh dan terjatuh lagi membuatnya lelah dengan lingkaran nafasnya. Hidup serba salah, hidup dalam relung hitam yang tak pernah menemukan titik putih, berdiam dalam titik jenuh yang tak pernah kunjung usai menyapa, buta akan lalu lalang manusia yang tak kunjung henti, bisu terhadap kepenatan masalah yang tak kunjung reda.
Cemooh, sindiran, hinaan seakan telah menjadi
temannya sehari-hari bahkan setiap jam hingga tiap detik bahkan pada kesempatan
ia melangkah. Bukannya empat sehat lima sempurna yang ia dapatkan dari
lauk-pauk
sederhana, melainkan inilah gizi yang seakan terus dan terus
menyehatkan otaknya. Mungkin suatu saat nanti ia akan menjadi super hero dengan
hati baja yang mampu mengalahkan keperkasaan Supermen hingga seorang Hulk. Ia
akan belajar dengan kata “bangkit”.
Helaian
angin melukiskan betapa indah tergurai rambut itu. Mata bulat dengan lingkaran
coklat ditenganya telah mewakili betapa lembut tindak tanduknya. Jari-jari
lembutnya bersedia menelusuri sampul kusam yang telah banyak didiami
beribu-ribu rayap bahkan jutaan itu tak menyurutkan keinginannya untuk membuka
kunci ingatannya. Hingga tak terlupa, sudut-sudut bibir itu telah membentuk simpul termanis yang pernah ada.
Bukalah
halaman pertama. Merdeka atau Mati, disanalah terlulis dengan tinta hitam yang
kini hampir memudar. Pilihan inilah yang tak membuatnya gencar menyurutkan niat
untuk berdiam diri dalam dimensi kelabu yang bersedia menaunginya
bertahun-tahun bersama sang Arjuna kedua.
Merdeka
atau Mati. Inilah pilihan yang menuntut ia memilih salah satu. Merdeka, bangkit
dari caruk maruk ketidakberaturan sistem hidupnya ataukah mati bersama caruk
maruk ketidakberaturan tatanan jalannya. Malam yang manaungi tangisannya kini
terbuyarkan.
“Sudahlah
jangan menangis”. Puluhan kali sang Arjuna mengatakan hal ini, dan puluhan kali
juga ia tak mampu menghentikan tangisan.
“Maafkan
aku” suaranya terdengar serak karena tangis yang tak kunjung usai.
“Bukankah
itu sudah berlalu lama, jangan kau buat berlarut-larut seperti ini, Radwa !”
pinta sang Arjuna melihat iba kepada wanita 45 tahun yang tak henti-hentinya
memandang keluar jendela.
Sadarkah
kedua makhluk Tuhan ini telah menjelajahi setengah malam tanpa melakukan hal
lain selain duduk bersebelahan. Kemana lagi angan akan dibawa jika selamanya
hidup dibawa terkatung-katung dalam kenangan masa lalu yang tak kunjung
berhenti memainkan perannya.
“Seandainya
ia mau mendengarkan aku, seandainya ia tak menutup matanya dariku, seandainya
ia tak membuat telinganya tuli dari perkataanku. Aku masih bisa duduk disini
bersamanya. Bersebelahan seperti ini” semakin serak terdengar dari mulutnya.
Mukhtar,
sang Arjuna semakin pilu tatkala mendengar rentetan kalimat itu keluar dari
mulut istrinya. Sungguh dari hati ia tak mengamini Irsyad sang Arjuna yang
lebih awal meminang Radwa kembali hadir diantara mereka. Kenangan saja sudah
membuatnya terlalu sulit apalagi dengan adanya sosok nyata dari Irsyad yang 5
tahun lalu telah Radwa yakini sebagai seorang Arjuna yang akan menemaninya
selamanya.
“Kau
memilih merdeka, Radwa. Tak ada gunanya menangisi kenangan ini. Ingatkah
engkau, aku disini. Disampingmu sekarang. Bukannya dengan-” kalimatnya dibiarkan
mengantung begitu saja. Membuat Radwa berpaling kearahnya. Menyadari hal yang
seharusnya disadari sejak awal, bahwa kini lelaki yang berada disampingnya
bukan lagi seorang yang penuh dengan korupsi dan pembodohan tapi seseorang yang
akan selamanya penuh dengan kesetiaaan, yang akan membuat tiap katanya
terbungkus dengan untaian doa kepada wanita hebat itu.
“Ma..maafkan
aku, tak seharusnya ku ucapakan semua ini” ia linglung bagaimana harus
bersikap. 2 tahun mereka bersama tak pernah Mukhtar memetikkan api dalam
naungan cintanya, entah cinta yang telah membutakan hatinya ataukah hanya rasa
iba yang tak pernah kunjung berhenti. Mukhtar tak pernah tahu pasti. Yang ia
rasakan hanyalah segudang rahmat yang Dia berikan pada keluarga kecilnya yang
ia selalu syukuri bagaimanapun keadaannya. Bukannya tak ingin mendapatkan
seorang pasangan yang ketika berdua cukup membicarakan tentang masa depan dan
sekelumit tentang bersama, namun ia percaya semakin banyak rahmat kecil yang
mampu dikumpulkan, semakin berarti hidup ini.
“Ya,
kau benar aku memilih merdeka, ini sudah lebih dari 5 tahun ku lalui dengan
tangisan. Tangisan yang tak pernah kunjung usai. Beribu kali aku katakan bahwa
aku memilih merdeka, tapi beribu-ribu kali juga ku telan ludahku sendiri. Aku
banyak membohongi diriku sendiri. Seakan usahaku selama ini tak berbuah hasil.
Ketika ingat, menangis, ingat, menangis dan begitulah” kini suaranya tak
seserak pertama kali ia berucap.
Senyuman
teruntai di bibir Mukhtar, mendengar pengakuan itu kembali. “Tapi kau tak
pernah gentar mendengar segala cemoohan, hinaan, fitnah yang tertuju langsung
padamu. Kau justru bersimpuh dihadapan-Nya demi memberikan mereka doa yang
berlaian dari rasa sakit yang kau derita, Radwa”.
“Kau
percaya bahwa usahaku tak akan sia-sia?” Tanya Radwa penuh keraguan.
“Kenapa
kau tanyakan itu padaku? Jawabanku sudahlah kau tahu. Aku percaya, Allah tak
akan membiarkan usaha hamba-Nya berlalu begitu saja. Percayalah ! Radwa hanya
perlu melangkah lebih jauh, sedikit demi sedikit dengan bumbu keberanian”
Senyum mulai mengembang diantaranya, ditemani sayup-sayup angin tengah malam.
Mereka bercengkrama. Mereka saling meyakinkan bahwa harapan itu selalu ada.
Tahukah kau, aku bersyukur
memilikimu. Aku mengambil pelajaran dari akhlakmu. Api tak pernah kau balas
dengan api. Dari apilah kau bisa jadi airnya. Ucap
Mukhtar dari hati yang tak terungkap.
Di
lain hati, aku jauh lebih bersyukur
karena engkau Mukhtar, engkau Yang Terpilih untuk mendampingiku hingga detik
ini. Kau menerima segala apa yang aku miliki dan yang tak aku miliki. Seberapa
halusnya hatimu sebenarnya, lebih haluskah dari kain sutra. Meski cinta hadir
menyapaku ditengah umur yang tak muda lagi, kau tidak membuatku hilang akan
cinta-Nya. Terimakasih.
oleh : viviana fauziyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar