Aku
masih ingat akan angin yang membelai rambut dora malam itu. Hangat, penuh
dengan aroma hujan yang terguyur deras. Diam tanpa kata ataupun tindak tanduk.
Tak satupun firasat yang menoleh kepadaku, hingga akhirnya aku terjerat juga.
Ya,
hidup seringkali membawa kita pada beribu-ribu pilihan, hmm bukan, berjuta-juta
pilihan itu jauh lebih sempurna. Hingga rumus matematika pun tak mampu
menjabarkan seberapa banyaknya keputusan yang harus kita ambil sebagai satu
pemenang dalam langkah drama hidup kita.
Kenyataan
yang tak terlalu pahit dan tak terlalu membahagiakan tak terlalu diperdulikan
beberapa tahun yang lalu, hingga akhirnya satu daun gugur hingga mengena dihatiku
telah mampu menyadarkanku bahwa hidup itu bagian dari rasa peduli kita akan
sesama.
“Brrrrr”
berkah dari langit serentak datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu layaknya
jejaring sosial facebook milikku. Dan, aku masih tetap berdiam disana. Tempat
dimana seharusnya aku mampu menjadi pendengar yang baik, mampu menjadi tiang
kokoh bagi manusia yang lain.
Setahun
yang lalu.
“Bisakah
kau tak membicarakan masalah ini dihadapanku lagi, aku lelah, capek, aku sudah
muak, Fris !” terdengar begitu menyakitkan dan aku menyadarinya. Wajahnya lesu
penuh harap akan belas kasihan dariku. Tapi apalah artinya ketika kata-kata itu
terlontar dari mulutku.
Sendiri.
Seakan bintang tak mau menyinari bulan lagi malam ini, seakan cahaya matahari
tak mau lagi membantu proses
fotosintesis para tumbuhan, bahkan tanahpun seakan tak mau lagi menyimpan
cadangan air untuk para tanaman hijau ini. Itulah aku sekarang.
“Fris,
bagaimana kau sekarang. Bagaimana aku begitu bodoh melakukan hal ini?” isak
tangisku tak tertahan lagi ditengah gemerlap malam yang tak kunjung reda dengan
memainkan segenap perlengkapan petangnya.
Ya,
itu beberapa cuplikan setahun laluku. Kekasaran yang telah membuatku kehilangan
satu hal berharga dari hidupku. Masih teringat begitu jelas, ketika malam itu
ia memintaku untuk kembali tapi aku tak menyadarinya itulah malam dimana aku
harus segera membuka hati lebih lebar lagi.
“Diamlah
sejenak, Len. Dengarkan aku” pintanya setahun lalu.
“Apa
lagi Fris? Kau selalu membicarakannya, dia dia dia dan dia. Cinta cinta cinta
cinta lagi, aku muak mendengar curhatanmu
lagi, itu itu itu muluuuu. Apa sih berharganya dia ha? Putus sajalah, itu cukup
saran dariku. Putus !” tanpa berfikir panjang ku tinggalkan dia ditaman bermain
kota, tempat favorit kita. Tempat pertama kita bertemu, dan telah menjadi
tempat terakhir kita bertemu dan bercanda. Semua ada disana.
“Leni,
jangan membelakangi aku. Kembalilah” teriaknya yang tak kuperdulikan.
“Aku
butuh kau, Len” sayup-sayup kudengar kalimat itu dan begitu bodohnya aku tak
mencerna kalimat ini dahulu.
Aku juga butuh kau, Fris. Tapi tiap
aku membutuhkanmu kenapa kau seakan begitu jauh dariku.Ku biarkan kau sendiri
sekarang, biar kau tahu bagaimana rasanya aku ketika kau jauh. Hanya
itu yang mampir difikiranku kala itu.
“Kenapa
kau begini, Len. Kenapa kau begitu tak mau peduli denganku seperti ini. Aku
butuh kau. Tak ada lagi yang berharga dalam hidupku sekarang. Hanya kau, hanya
kau Leni. Kembalilah berbaliklah berbaliklah, berhentilah membelakangiku
seperti ini berhentilah berjalan menjauh dariku Leni. Leeeennnniiiii” lagi-lagi
suara khas itu tak kuperdulikan. Kubiarkan gemercik air menutupi telingaku dari
teriakan menyebalkan itu.
“Haaaaa…”
ku usap derai air mata yang mengalir begitu saja tanpa pemberitahuanku kala ku
mengingat kejadian yang tak pernah ku inginkan dalam sejarah hidupku.
Aku menyayangimu,
Leni. Sahabatku.
-Maafkan
aku selama ini. :)
Pesan
terakhir yang masuk dalam kotak inbox handphoneku masih ada disana. Salam penuh
kepahitan, salam penuh kepedihan yang benar-benar aku sesali. Dan, itulah
senyum terakhir yang aku dapat, senyum dari beribu-ribu kepedihan.
Seandainya
aku mampu mengembalikan waktu yang terbuang kala itu, aku akan mendengar segala
keluh kesahmu. Aku akan 24 jam mendengarmu, aku akan berada di sisimu selama
kau mau. Tapi apa mau dikata, ke-egoisan telah menutupi hatiku malam itu.
Jika
kau yang mengatakan “kembalilah” saat itu, kini aku yang terus meminta pada
Tuhan agar Dia mengabulkan doa bodohku ini. “Kembalilah, Fris. Kembalilah” mata
ini sudah amatlah merah karena menangisi sahabat yang telah ku biarkan menderita
sendiri, kembali dalam keadaan tak ada siapapun disampingmu. Hanya dukun kurang
ajar yang menemani hari akhirmu.
Abrosi.
Abrosi itu membuatku terpukul, kejujuran seperti apa yang ingin kau katakan
malam itu sama sekali tak ingin aku dengar. Bahkan sebelum kau katakan aku tak
ada disana lagi. Tak ada.
Membiarkanmu
mengambil keputusan yang menyedihkan tanpa campur tanganku, membiarkanmu
diderai begitu banyak rasa malu tanpa aku disampingmu. Apalah artinya aku
sekarang, seorang teman yang egois, teman yang bodoh, teman yang menjijikan. Seharusnya
kau kautakan itu padaku sedari dulu.
Malam
ini aku ada disini Fris, malam dimana aku seharusnya mampu memelukmu erat agar kau
tak terajuh lebih dalam. Tetapi aku telah membiarkanmu jatuh amat dalam. Malam
yang seharusnya aku menjadi sandaran hatimu tapi aku tak ada disampingmu,
bahkan untuk menatapmu aku tak ada disana. Kini aku tahu, aku harus menjadi
seorang pendengar yang baik.
Maafkan
aku dengan segala tingkah bodohku, tingkah kekanak-kanakanku. Aku selalu
berfikir bahwa aku seorang yang mampu berfikir dewasa. Tapi, kau telah membuka
lebar hatiku akan apa itu kata “dewasa”. Yang aku sesali kenapa kau sadarkan
aku dengan cara seperti ini, cara yang siapapun itu tak ingin dirasakan. Dengan
cara kehilanganmu selamanya mungkin adalah yang terbaik untukku. Tenanglah
disana, aku akan jadi manusia yang lebih baik disini.
Bagimanapun
aku tak bisa hidup dalam naungan tangis setiap hari layaknya detik ini. Cukuplah
satu mimpi buruk menyadarkanku dari tidur lelapku selama ini, jangan ada lagi
kurasakan pahitnya menjadi orang egois.
Aku
tak bisa hidup dalam lingkaran kenangan selamanya, Fris. Seperti yang kau
katakan. Hidup maju terus, masa lalu itu hanya menghambat. Aku hidup bukan
berdiri dalam kenangan, aku hidup dari apa yang bisa aku ambil dari kenangan
itu.
Aku
menyadarinya bahwa malam itu tak akan kembali lagi. Bahagia selalu-lah disana,
kawanku. Friska Adelia Putri. Salam beribu-ribu cinta dariku untukmu, sayang.
oleh : viviana fauziyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar