Laman

Sabtu, 11 Januari 2014

Tak Ada Malam yang Sama


Aku masih ingat akan angin yang membelai rambut dora malam itu. Hangat, penuh dengan aroma hujan yang terguyur deras. Diam tanpa kata ataupun tindak tanduk. Tak satupun firasat yang menoleh kepadaku, hingga akhirnya aku terjerat juga.
Ya, hidup seringkali membawa kita pada beribu-ribu pilihan, hmm bukan, berjuta-juta pilihan itu jauh lebih sempurna. Hingga rumus matematika pun tak mampu menjabarkan seberapa banyaknya keputusan yang harus kita ambil sebagai satu pemenang dalam langkah drama hidup kita.
Kenyataan yang tak terlalu pahit dan tak terlalu membahagiakan tak terlalu diperdulikan beberapa tahun yang lalu, hingga akhirnya satu daun gugur hingga mengena dihatiku telah mampu menyadarkanku bahwa hidup itu bagian dari rasa peduli kita akan sesama.
“Brrrrr” berkah dari langit serentak datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu layaknya jejaring sosial  facebook milikku. Dan, aku masih tetap berdiam disana. Tempat dimana seharusnya aku mampu menjadi pendengar yang baik, mampu menjadi tiang kokoh bagi manusia yang lain.
Setahun yang lalu.
“Bisakah kau tak membicarakan masalah ini dihadapanku lagi, aku lelah, capek, aku sudah muak, Fris !” terdengar begitu menyakitkan dan aku menyadarinya. Wajahnya lesu penuh harap akan belas kasihan dariku. Tapi apalah artinya ketika kata-kata itu terlontar dari mulutku.
Sendiri. Seakan bintang tak mau menyinari bulan lagi malam ini, seakan cahaya matahari tak mau lagi membantu  proses fotosintesis para tumbuhan, bahkan tanahpun seakan tak mau lagi menyimpan cadangan air untuk para tanaman hijau ini. Itulah aku sekarang.
“Fris, bagaimana kau sekarang. Bagaimana aku begitu bodoh melakukan hal ini?” isak tangisku tak tertahan lagi ditengah gemerlap malam yang tak kunjung reda dengan memainkan segenap perlengkapan petangnya.
Ya, itu beberapa cuplikan setahun laluku. Kekasaran yang telah membuatku kehilangan satu hal berharga dari hidupku. Masih teringat begitu jelas, ketika malam itu ia memintaku untuk kembali tapi aku tak menyadarinya itulah malam dimana aku harus segera membuka hati lebih lebar lagi.
“Diamlah sejenak, Len. Dengarkan aku” pintanya setahun lalu.
“Apa lagi Fris? Kau selalu membicarakannya, dia dia dia dan dia. Cinta cinta cinta cinta lagi, aku muak mendengar  curhatanmu lagi, itu itu itu muluuuu. Apa sih berharganya dia ha? Putus sajalah, itu cukup saran dariku. Putus !” tanpa berfikir panjang ku tinggalkan dia ditaman bermain kota, tempat favorit kita. Tempat pertama kita bertemu, dan telah menjadi tempat terakhir kita bertemu dan bercanda. Semua ada disana.
“Leni, jangan membelakangi aku. Kembalilah” teriaknya yang tak kuperdulikan.
“Aku butuh kau, Len” sayup-sayup kudengar kalimat itu dan begitu bodohnya aku tak mencerna kalimat ini dahulu.
Aku juga butuh kau, Fris. Tapi tiap aku membutuhkanmu kenapa kau seakan begitu jauh dariku.Ku biarkan kau sendiri sekarang, biar kau tahu bagaimana rasanya aku ketika kau jauh. Hanya itu yang mampir difikiranku kala itu.
“Kenapa kau begini, Len. Kenapa kau begitu tak mau peduli denganku seperti ini. Aku butuh kau. Tak ada lagi yang berharga dalam hidupku sekarang. Hanya kau, hanya kau Leni. Kembalilah berbaliklah berbaliklah, berhentilah membelakangiku seperti ini berhentilah berjalan menjauh dariku Leni. Leeeennnniiiii” lagi-lagi suara khas itu tak kuperdulikan. Kubiarkan gemercik air menutupi telingaku dari teriakan menyebalkan itu.
“Haaaaa…” ku usap derai air mata yang mengalir begitu saja tanpa pemberitahuanku kala ku mengingat kejadian yang tak pernah ku inginkan dalam sejarah hidupku.
Aku menyayangimu, Leni. Sahabatku.
-Maafkan aku selama ini. :)
Pesan terakhir yang masuk dalam kotak inbox  handphoneku masih ada disana. Salam penuh kepahitan, salam penuh kepedihan yang benar-benar aku sesali. Dan, itulah senyum terakhir yang aku dapat, senyum dari beribu-ribu kepedihan.
Seandainya aku mampu mengembalikan waktu yang terbuang kala itu, aku akan mendengar segala keluh kesahmu. Aku akan 24 jam mendengarmu, aku akan berada di sisimu selama kau mau. Tapi apa mau dikata, ke-egoisan telah menutupi hatiku malam itu.
Jika kau yang mengatakan “kembalilah” saat itu, kini aku yang terus meminta pada Tuhan agar Dia mengabulkan doa bodohku ini. “Kembalilah, Fris. Kembalilah” mata ini sudah amatlah merah karena menangisi sahabat yang telah ku biarkan menderita sendiri, kembali dalam keadaan tak ada siapapun disampingmu. Hanya dukun kurang ajar yang menemani hari akhirmu.
Abrosi. Abrosi itu membuatku terpukul, kejujuran seperti apa yang ingin kau katakan malam itu sama sekali tak ingin aku dengar. Bahkan sebelum kau katakan aku tak ada disana lagi. Tak ada.
Membiarkanmu mengambil keputusan yang menyedihkan tanpa campur tanganku, membiarkanmu diderai begitu banyak rasa malu tanpa aku disampingmu. Apalah artinya aku sekarang, seorang teman yang egois, teman yang bodoh, teman yang menjijikan. Seharusnya kau kautakan itu padaku sedari dulu.
Malam ini aku ada disini Fris, malam dimana aku seharusnya mampu memelukmu erat agar kau tak terajuh lebih dalam. Tetapi aku telah membiarkanmu jatuh amat dalam. Malam yang seharusnya aku menjadi sandaran hatimu tapi aku tak ada disampingmu, bahkan untuk menatapmu aku tak ada disana. Kini aku tahu, aku harus menjadi seorang pendengar yang baik.
Maafkan aku dengan segala tingkah bodohku, tingkah kekanak-kanakanku. Aku selalu berfikir bahwa aku seorang yang mampu berfikir dewasa. Tapi, kau telah membuka lebar hatiku akan apa itu kata “dewasa”. Yang aku sesali kenapa kau sadarkan aku dengan cara seperti ini, cara yang siapapun itu tak ingin dirasakan. Dengan cara kehilanganmu selamanya mungkin adalah yang terbaik untukku. Tenanglah disana, aku akan jadi manusia yang lebih baik disini.
Bagimanapun aku tak bisa hidup dalam naungan tangis setiap hari layaknya detik ini. Cukuplah satu mimpi buruk menyadarkanku dari tidur lelapku selama ini, jangan ada lagi kurasakan pahitnya menjadi orang egois.
Aku tak bisa hidup dalam lingkaran kenangan selamanya, Fris. Seperti yang kau katakan. Hidup maju terus, masa lalu itu hanya menghambat. Aku hidup bukan berdiri dalam kenangan, aku hidup dari apa yang bisa aku ambil dari kenangan itu.
Aku menyadarinya bahwa malam itu tak akan kembali lagi. Bahagia selalu-lah disana, kawanku. Friska Adelia Putri. Salam beribu-ribu cinta dariku untukmu, sayang.

 oleh : viviana fauziyyah





Tidak ada komentar:

Posting Komentar